Jumat, 12 April 2013

MEMPERTANYAKAN NETRALITAS PNS DALAM PILKADA


Dipublikasikan dalam Jambi Ekspres, 8 April 2013
Banyak tulisan-tulisan yang telah dibuat oleh teman-teman sesama penulis yang meragukan netralitas PNS dalam Pemilihan Kepala Daerah. Hal tersebut bukan tanpa alasan dan sudah banyak fakta dilapangan yang merujuk pembenaran kepada permasalahan tersebut. Padahal  telah jelas-jelas dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah no 35 tahun 2010 tentang displin PNS dalam Pasal 14 butir 15 dinyatakan PNS dilarang untuk : memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dengan cara: a. terlibat dalam kegiatan kampanye untuk  mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala  Daerah; b. menggunakan fasilitas yang terkait dengan  jabatan dalam kegiatan kampanye;  c.membuat keputusan dan/atau tindakan yang  menguntungkan atau merugikan salah satu  pasangan calon selama masa kampanye;  dan/atau  d. mengadakan kegiatan yang mengarah kepada  keberpihakan terhadap pasangan calon yang  menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan  sesudah masa kampanye meliputi pertemuan,  ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian  barang kepada PNS dalam lingkungan unit  kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.

Banyak faktor-faktor yang yang diprediksi dan kemudian dijadikan alasan kenapa PNS tidak bisa netral baik karena alasan idealistis, ekonomis ataupun kedekatan emosional. Alasan-alasan tersebut pun sifatnya akan berubah-ubah, dengan kata lain seorang pemilih bisa saja ditahun pemilihan kepala daerah berikutnya akan berganti misalnya dari alasan idealis menjadi ekonomis dikarenakan banyak faktor. Dan hal tersebut disebabkan adanya tabrakan-tabrakan antar kepentingan yang diperhitungkan secara terencana ataupun tidak terduga.


Netralitas PNS struktural dan fungsional
Untuk PNS di jabatan struktural sudah jelas sekali memiliki kepentingan terhadap Pemilihan Kepala daerah, baik yang belum menduduki jabatan apalagi yang sudah memiliki jabatan. Bagi yang belum memiliki jabatan, masa-masa kampanye adalah ajang mencari figur yang akan dijadikan pegangan dengan harapan apabila nanti terpilih menjadi kepala daerah akan memberikan dampak positif terhadap peningkatan karier dalam dunia birokrasi. Dan hal tersebut memerlukan pengorbanan baik secara mental atau finansial. Apalagi bagi PNS yang sudah memiliki jabatan maka pemilihan kepala daerah adalah masa-masa perjuangan, berusaha mencari dukungan baik dari teman-teman sejawat ataupun keluarga terdekat yang diminta untuk ikut mendukung calon kepala daerah yang kita usung. Dalam hal ini korelasi antara terpilihnya calon yang didukung dengan jabatan yang dipegang erat kaitannya. Apalagi kalau yang didukung tidak terpilih, maka kesiapan mental untuk tidak lagi memegang jabatan sudah tinggal menunggu waktu. 

Sebaliknya untuk PNS di jabatan fungsional banyak yang mengatakan lebih bisa untuk netral dalam Pilkada dikarenakan tidak mengejar jabatan tertentu dalam birokrasi dengan kata lain seharusnya tidak memperhitungkan apa yang akan didapat apabila kandidat yang dipilih akhirnya duduk sebagai seorang pemimpin daerah. Seharusnya kata hati nurani menjadi alasan seorang PNS dalam jabatan fungsional dalam memilih dan bisa lebih idealis. Tetapi apakah pemilih idealis tidak bisa dipengaruhi? Ternyata masih bisa, hal tersebut tidak terlepas dari PP No. 96/2000 tercantum ketentuan mengenai kewenangan yang besar dari kepala daerah seperti gubenur, bupati dan walikota untuk mengangkat dan memberhentikan PNS dari pangkat/golongan I/A hingga IV/E. Demikian juga dengan jabatan-jabatan struktural dari eselon V hingga I.  Karena itu dalam diri PNS tertanam sikap sebagai persyaratan utama untuk loyal pada atasannya yang bersatus sebagai pejabat negara.  Sebagai aparat negara loyalitas itu diperlukan agar PNS bekerja sesuai dengan perundangan dan ketentuan yang berlaku sehingga roda birokrasi dan pemerintahan tetap berputar. Masalahnya menjadi lain jika PNS selain dituntut untuk loyal terhadap atasannya, juga dituntut loyal terhadap partai pejabat negara atasannya tersebut. Disinilah PNS menghadapi dilema. Sesuai ketentuan PNS bersikap netral karena tidak boleh menjadi anggota suatu partai.  Padahal PNS yang memegang posisi penting baik di pusat maupun daerah-daerah hingga pelosok-pelosok terpencil mempunyai peran strategis karena dekat dengan rakyat atau massa. Dari sinilah bermula mengapa partai yang berkuasa di suatu daerah tertarik untuk menjadikan PNS secara tidak langsung menjadi bagian dari mesin partainya untuk memenangi pemilu atau pilkada yang akan berlangsung.

Netralitasi sesungguhnya
Walaupun sudah disebutkan sebelumnya untuk menjadi seorang PNS yang netral dalam memilih itu sangat sulit, namun bukan hal yang tidak mungkin dilakukan. PNS itu sendiri dimana sesuai dengan sumpahnya ketika dilantik sebagai PNS dan/atau pejabat harus melaksanakan kewajiban sebaik-baiknya sebagai PNS/pejabat dengan mengutamakan kepentingan negara di atas golongan, termasuk golongan politik tertentu. Masalah jabatan seharusnya diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme yang ada. Bahwa seorang yang dipromosikan untuk menduduki sebuah jabatan telah melalui serangkaian sistem yang harus dilakukan seperti kesesuaian pangkat dan golongan serta kecakapan dalam berkinerja. Definisi jabatan menurut Wursanto (1991: 39) adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seseorang pegawai dalam susunan suatu organisasi. Jabatan berkaitan dengan serangkaian pekerjaan yang akan dilakukan dan persyaratan yang diperlukan untuk melakukan tugas tersebut dan kondisi lingkungan di mana pekerjaan tersebut dilakukan.

Berdasarkan defenisi jabatan tersebut seharusnya seorang pimpinan tidak mempergunakan pegawai atau stafnya dalam urusan pemilihan kepala daerah. PNS yang ada hanya dijadikan sebagai pemilih yang sifatnya netral, kalaupun ada yang dijadikan sarana atau alat hanya sebatas sebagai pegawai yang bekerja untuk mensukseskan pelaksanaan pesta demokrasi seperti pegawai KPU, pegawai SATPOL PP dan unsur lainnya.

Menjawab tantangan tersebut banyak hal yang harus dibenahi, seperti peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang netralisasi pegawai negeri sipil harus lebih tegas.Yang ada saat ini terjadi kesimpangsiuran mengenai keterlibatan PNS dalam Pilkada. Seperti adanya ketidakcocokan antara PP no 35 tahun 2010 tentang disiplin PNS yang melarang PNS terlibat secara langsung dalam segala kegiatan yang berkaitan dengan Pilkada namun di sisi lain ada Undang-undang no 32 tahun 2004 pasal 24 ayat (5) yang didalamnya mengatur tentang pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat dan rakyat disini termasuk PNS itu sendiri. Sehingga setelah terpilih adanya kekuasaan tertinggi bagi kepala daerah dalam memberdayakan pegawai atau stafnya, termasuk dalam hal mempromosikan, memutasikan ataupun memberhentikan pegawai yang dianggap dalam tanda kutip tidak layak. Dalam hal ini sudah jelas PNS akan menjadi loyal terhadap atasan termasuk pada saat pemilihan kepala daerah tergantung kearah mana pimpinan berhaluan. Dengan jelas sudah ditegaskan bahwa Undang-undang yang berlaku lebih tinggi kedudukannya dibandingkan peraturan pemerintah, sehingga mau tidak mau PNS akan memilih loyal terhadap pimpinan dan melanggar larangan PNS untuk mendukung kandidat tertentu.

Jadi bagaimana bentuk netralisasi sesungguhnya? Pesimis adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan. Keinginan untuk berubah kearah yang lebih baik harus dijadikan langkah awal. Kesalahan dalam memilih seorang pemimpin adalah awal kehancuran bersama, untuk itu maukah kita menjadi seorang PNS yang berpikir pintar untuk tidak salah memilih seorang pemimpin dan netral dalam memilih? (*)

                                                            Widyaiswara Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi dan
                                                            Dosen Tetap STIE Muhammadiyah Jambi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar