Dipublikasikan dalam Jambi Ekspres, 8 April 2013
Banyak
tulisan-tulisan yang telah dibuat oleh teman-teman sesama penulis yang
meragukan netralitas PNS dalam Pemilihan Kepala Daerah. Hal tersebut bukan
tanpa alasan dan sudah banyak fakta dilapangan yang merujuk pembenaran kepada
permasalahan tersebut. Padahal telah
jelas-jelas dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah no 35 tahun 2010 tentang
displin PNS dalam Pasal 14 butir 15 dinyatakan PNS dilarang untuk : memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah, dengan cara: a. terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah; b. menggunakan fasilitas yang terkait
dengan jabatan dalam kegiatan kampanye; c.membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau d. mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.
Banyak
faktor-faktor yang yang diprediksi dan kemudian dijadikan alasan kenapa PNS
tidak bisa netral baik karena alasan idealistis, ekonomis ataupun kedekatan
emosional. Alasan-alasan tersebut pun sifatnya akan berubah-ubah, dengan kata
lain seorang pemilih bisa saja ditahun pemilihan kepala daerah berikutnya akan
berganti misalnya dari alasan idealis menjadi ekonomis dikarenakan banyak
faktor. Dan hal tersebut disebabkan adanya tabrakan-tabrakan antar kepentingan
yang diperhitungkan secara terencana ataupun tidak terduga.
Netralitas
PNS struktural dan fungsional
Untuk PNS di
jabatan struktural sudah jelas sekali memiliki kepentingan terhadap Pemilihan
Kepala daerah, baik yang belum menduduki jabatan apalagi yang sudah memiliki
jabatan. Bagi yang belum memiliki jabatan, masa-masa kampanye adalah ajang
mencari figur yang akan dijadikan pegangan dengan harapan apabila nanti
terpilih menjadi kepala daerah akan memberikan dampak positif terhadap
peningkatan karier dalam dunia birokrasi. Dan hal tersebut memerlukan
pengorbanan baik secara mental atau finansial. Apalagi bagi PNS yang sudah
memiliki jabatan maka pemilihan kepala daerah adalah masa-masa perjuangan,
berusaha mencari dukungan baik dari teman-teman sejawat ataupun keluarga
terdekat yang diminta untuk ikut mendukung calon kepala daerah yang kita usung.
Dalam hal ini korelasi antara terpilihnya calon yang didukung dengan jabatan
yang dipegang erat kaitannya. Apalagi kalau yang didukung tidak terpilih, maka
kesiapan mental untuk tidak lagi memegang jabatan sudah tinggal menunggu waktu.
Sebaliknya untuk
PNS di jabatan fungsional banyak yang mengatakan lebih bisa untuk netral dalam
Pilkada dikarenakan tidak mengejar jabatan tertentu dalam birokrasi dengan kata
lain seharusnya tidak memperhitungkan apa yang akan didapat apabila kandidat yang
dipilih akhirnya duduk sebagai seorang pemimpin daerah. Seharusnya kata hati
nurani menjadi alasan seorang PNS dalam jabatan fungsional dalam memilih dan
bisa lebih idealis. Tetapi apakah pemilih idealis tidak bisa dipengaruhi?
Ternyata masih bisa, hal tersebut tidak terlepas dari PP No. 96/2000 tercantum
ketentuan mengenai kewenangan yang besar dari kepala daerah seperti gubenur,
bupati dan walikota untuk mengangkat dan memberhentikan PNS dari
pangkat/golongan I/A hingga IV/E. Demikian juga dengan jabatan-jabatan struktural
dari eselon V hingga I. Karena itu dalam
diri PNS tertanam sikap sebagai persyaratan utama untuk loyal pada atasannya
yang bersatus sebagai pejabat negara. Sebagai
aparat negara loyalitas itu diperlukan agar PNS bekerja sesuai dengan
perundangan dan ketentuan yang berlaku sehingga roda birokrasi dan pemerintahan
tetap berputar. Masalahnya menjadi lain jika PNS selain dituntut untuk loyal
terhadap atasannya, juga dituntut loyal terhadap partai pejabat negara
atasannya tersebut. Disinilah PNS menghadapi dilema. Sesuai ketentuan PNS
bersikap netral karena tidak boleh menjadi anggota suatu partai. Padahal PNS yang memegang posisi penting baik
di pusat maupun daerah-daerah hingga pelosok-pelosok terpencil mempunyai peran
strategis karena dekat dengan rakyat atau massa. Dari sinilah bermula mengapa
partai yang berkuasa di suatu daerah tertarik untuk menjadikan PNS secara tidak
langsung menjadi bagian dari mesin partainya untuk memenangi pemilu atau
pilkada yang akan berlangsung.
Netralitasi
sesungguhnya
Walaupun sudah
disebutkan sebelumnya untuk menjadi seorang PNS yang netral dalam memilih itu
sangat sulit, namun bukan hal yang tidak mungkin dilakukan. PNS itu sendiri
dimana sesuai dengan sumpahnya ketika dilantik sebagai PNS dan/atau pejabat
harus melaksanakan kewajiban sebaik-baiknya sebagai PNS/pejabat dengan
mengutamakan kepentingan negara di atas golongan, termasuk golongan politik
tertentu. Masalah jabatan seharusnya diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme
yang ada. Bahwa seorang yang dipromosikan untuk menduduki sebuah jabatan telah
melalui serangkaian sistem yang harus dilakukan seperti kesesuaian pangkat dan
golongan serta kecakapan dalam berkinerja. Definisi jabatan menurut Wursanto
(1991: 39) adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang,
dan hak seseorang pegawai dalam susunan suatu organisasi. Jabatan berkaitan
dengan serangkaian pekerjaan yang akan dilakukan dan persyaratan yang
diperlukan untuk melakukan tugas tersebut dan kondisi lingkungan di mana pekerjaan
tersebut dilakukan.
Berdasarkan
defenisi jabatan tersebut seharusnya seorang pimpinan tidak mempergunakan
pegawai atau stafnya dalam urusan pemilihan kepala daerah. PNS yang ada hanya
dijadikan sebagai pemilih yang sifatnya netral, kalaupun ada yang dijadikan
sarana atau alat hanya sebatas sebagai pegawai yang bekerja untuk mensukseskan
pelaksanaan pesta demokrasi seperti pegawai KPU, pegawai SATPOL PP dan unsur
lainnya.
Menjawab
tantangan tersebut banyak hal yang harus dibenahi, seperti peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang netralisasi pegawai negeri sipil harus lebih tegas.Yang
ada saat ini terjadi kesimpangsiuran
mengenai keterlibatan PNS dalam Pilkada. Seperti adanya ketidakcocokan antara
PP no 35 tahun 2010 tentang disiplin PNS yang melarang PNS terlibat secara
langsung dalam segala kegiatan yang berkaitan dengan Pilkada namun di sisi lain
ada Undang-undang no 32 tahun 2004 pasal 24 ayat (5) yang didalamnya mengatur
tentang pemilihan kepala daerah secara
langsung oleh rakyat dan rakyat disini termasuk PNS itu sendiri. Sehingga
setelah terpilih adanya
kekuasaan tertinggi bagi kepala daerah dalam memberdayakan pegawai atau
stafnya, termasuk dalam hal mempromosikan, memutasikan ataupun memberhentikan
pegawai yang dianggap dalam tanda kutip tidak layak. Dalam hal ini sudah jelas
PNS akan menjadi loyal terhadap atasan termasuk pada saat pemilihan kepala
daerah tergantung kearah mana pimpinan berhaluan. Dengan jelas sudah ditegaskan
bahwa Undang-undang yang berlaku lebih tinggi kedudukannya dibandingkan
peraturan pemerintah, sehingga mau tidak mau PNS akan memilih loyal terhadap
pimpinan dan melanggar larangan PNS untuk mendukung kandidat tertentu.
Jadi bagaimana
bentuk netralisasi sesungguhnya? Pesimis adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan.
Keinginan untuk berubah kearah yang lebih baik harus dijadikan langkah awal.
Kesalahan dalam memilih seorang pemimpin adalah awal kehancuran bersama, untuk
itu maukah kita menjadi seorang PNS yang berpikir pintar untuk tidak salah
memilih seorang pemimpin dan netral dalam memilih? (*)
Widyaiswara
Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi dan
Dosen
Tetap STIE Muhammadiyah Jambi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar